Maaf agak narsis. :D |
Duo kriting
spektakuler di dunia perfilman tanah air yakni produser Mira Lesmana dan sutradara Riri Riza kembali
berkolaborasi dalam sebuah proyek film. Keduanya sedang menyiapkan film yang
mengangkat daerah Atambua, Timor, Nusa Tenggara
Timor.
Hal tersebut diungkapkan keduanya dalam workshop film eksklusif yang diadakan oleh Sinou
Kafe Hausen di daerah Panglima Polim, Jakarta Selatan beberapa waktu yang lalu.
Senyum ramah,
dan candaan hangat mengiringi cerita mereka tentang proyek film yang diberi
judul Atambua 39 Celcius ini.
“Tahun lalu,
saya dan teman-teman dari Miles film berkesempatan mengunjungi Timor beberapa kali. Sebuah tempat yang sangat indah ,
sangat menarik, sangat unik, sebuah kehidupan yang sangat sederhana tetapi
disaat yang sama memiliki kompleksitas yang sangat tinggi” Tutur Mira
menceritakan ide awal pembuatan film Atambua 39° C.
Diakuinya,
kisah-kisah kehidupan di sana sangat melekat di hati Mira, alamnya yang keras
namun juga indah, kemiskinan, keterpisahan keluarga, suara tawa anak-anak Timor
bersekolah atau bermain bola, semua menyiratkan harapan untuk hidup yang lebih
baik. Munculah keinginan untuk menceritakannya ke layar lebar.
Namun, timbul
pertanyaan di benak Mira, apakah mungkin bisa membuat sebuah film dengan budget
yang tidak terlalu besar?. Pertanyaanpun terjawab seiring sambutan positif
dari teman-temannya, terutama tentunya Riri Riza yang dalam waktu yang singkat
membuat cerita yang indah yang diberi judul Atambua 39° C.
“Dan kami semua
sepakat untuk mewujudkannya. Atambua 39° C adalah film yang akan menggunakan
aktor lokal dan hampir sepenuhnya berbahasa Tetun & Porto, bahasa asli
orang Timor. Ini bukan film yang mudah untuk
saya presentasikan ke para investor bisnis, tapi kami merasa perlu memotret
sepenggal kehidupan di Timur Indonesia
yang kerap terlupakan.” Ungkap Mira Antusias.
Lantas, kenapa
memilih Timor sebagai objek film, bukankah
masih banyak daerah serupa yang membutuhkan publikasi lebih mengingat letak
geografisnya yang sangat jauh dari pusat pemerintahan? Tanya Moviegoers penasaran.
“Berbagai macam
hal menjadi pertimbangan, mengingat dalam setiap proses pembuatan film kita
tidak pernah bikin film berdasarkan pasar tapi berangkat dari ide dulu, lantas
di analisa ,lalu barulah dibuat film tersebut”. Jawab wanita yang menimba ilmu
di jurusan penyutradaraan Institut Kesenian Jakarta tahun 1985-1988 ini.
“Ini tentang
Atambua hari ini. Kami jatuh cinta kepada Timor
setelah tahun lalu memproduksi film dokumenter. Sudah 12 tahun referendum,
seharusnya ada perubahan signifikan. Tetapi yang ada, NTT seolah terpisahkan
karena struktur politik. Trauma setelah 12 tahun belum sembuh. NTT tempat
terindah, golden island, tapi dilupakan oleh pemerintah.” Lirih Mira.
Timor menjadi begitu istimewa di mata Mira karena daerah
tersebut merupakan sebuah tempat dengan latar belakang sejarah yang kompleks,
satu bangsa / etnis yang terpecah oleh politik negara. Timor juga merupakan
ruang penjelajahan baru, dengan cerita politik wilayah konflik, dan tentunya
cerita yang belum banyak dijelajahi dalam film komersial Indonesia yang menjadikan karakter budaya Timor lebih menarik dibanding dengan daerah lainnya.
Kembali pada
film Atambua 39° C yang secara global menceritakan tentang seorang pemuda
bernama Joao yang telah terpisah dari ibunya sejak berusia tujuh tahun. Ia
dibawa eksodus ayahnya pindah ke Atambua setelah referendum 1999, sementara ibu
dan dua adiknya yang masih bayi tinggal di Liquica, Timor Leste. Disinilah
konflik terjadi. Konflik yang melibatkan ayah dan anak lelaki yang sedang mencari jati diri.
Cerita
sederhana, namun sangat sarat akan nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung
didalamnya.
“Buat kami, membuat film tidak
boleh sembarangan, karena apapun yang kita lihat bisa menjadi sesuatu, itulah
yg membuat kita tidak membuat film terlalu banyak” Pungkas Mira mengakhiri
perbincangan menarik di Sinou Kafe Hausen sore itu.
Meliza Sopandi
No comments:
Post a Comment