Thursday, May 10, 2012

Moviegoers Indonesia : Mengembalikan Kepercayaan Penonton pada Bioskop


Jika menilik suasana tontonan di bioskop Majestic pada sekira periode tahun 1920-an, pemutaran film didahului oleh promosi yang menggunakan kereta kuda sewaan. Kereta itu berkeliling kota membawa poster film dan membagikan selebaran. Ketika itu kedatangan kereta kuda itu sudah menjadi hiburan tersendiri, terutama bagi anak-anak.
Pemutaran film dimulai pukul 19.30 dan 21.00 WIB. Sebelum film diputar di pelataran bioskop Majestic sebuah orkes musik mini yang disewa pihak pengelola memainkan lagu-lagu gembira untuk menarik perhatian.
Saat ini, seiring berkembangnya waktu dan kemajuan teknologi. Pemanfaatan media massa juga berpengaruh besar terhadap perkembangan dunia film Indonesia. Dengan memanfaatkan media social seperti twitter, kita tidak usah susah payah menyebarkan promosi film dengan menggunakan kereta kuda sewaan lagi. Cukup dengan sekali tweet ajakan menonton film, maka ratusan orang akan merespon dan ikut bergabung.
Hal itulah yang dilakukan oleh sekelompok anak muda dengan hoby yang sama yaitu menonton film di bioskop setiap minggu. Mereka tergabung dalam komunitas Moviegoers Indonesia. Berawal dari obrolan ringan dan  ketidaksengajaan, Tatzhu, Rivki, Witra, Joseph, dan Ainel mampu mengumpulkan orang-orang lewat media sosial hingga 25 orang setiap kali nobar (nonton bareng). Mulai resmi terbentuk pada bulan Maret 2012, akhirnya komunitas ini bisa mengumpulkan massa yang lebih banyak dan terdiri dari latar belakang yang beragam. “Ada mahasiswa, karyawan, finance, blogger, wartawan film, bahkan sineas film sendiri ikut bergabung bersama kita” Ujar Rivki, salah satu penggagas komunitas Moviegoers Indonesia.
Dalam 10 tahun terakhir, pasang surut dunia perfilman Indonesia terlihat dari jumlah penonton yang mengunjungi bioskop tanah air. Hal inilah salah satunya yang menjadi latar belakang terbentuknya komunitas Moviegoers Indonesia.

“Kita ingin mengembalikan kepercayaan penonton terhadap film Indonesia, kepercayaan penonton berkurang karena beberapa hal, diantaranya adalah kualitas film Indonesia itu sendiri, nah, istilahnya kita ini menjembatani antara bioskop dan penontonnya”. Terang Tatzhu.

Film pertama yang mereka tonton bareng adalah The Raid, jumlah pesertanya mencapai 120 orang. Suatu saat muncul ide dari rekan sineas mereka yaitu Ian Salim dan Elvira Kusno (Yours Truly, FISFIC) , mereka mencoba mengajak crew dan cast dari film The Raid untuk bergabung. Beruntung, Joe Taslim, Tegar Satrya, Verdi Soelaiman, Iko Uwais dan Ario Sagantoro (The Raid producer) berkenan menghadiri nobar yang mereka adakan di Blitzmegaplex Grand Indonesia kala itu.
“Untuk menarik penonton ke bioskop, kita mengajak para crew dan cast dari film The Raid untuk nobar. Dan cara ini terbukti berhasil memikat para penonton untuk menyaksikan film tersebut” Ujar Joseph menambahkan.

Namun, tidak semua film Indonesia bisa ditonton bersama. Mekanisme pertama memilih film untuk nonton bareng adalah penyeleksian dan fokus pada film yang memiliki kualitas baik. “Kalau film hantu esek-esek ya ngga kita tonton, kita kan fokus mendukung film-film Indonesia yang berkualitas” Ungkap Ainel.
Kemudian ia pun mengungkapkan bahwa ketika menonton sebuah film di bioskop, akan mendapatkan sesuatu yang berbeda disbanding ketika menonton sendiri. Dari segi atmosphere, sound, effect, lalu rasa kebersamaannya juga bisa tercipta.
Keuntungan lainnya adalah ketika selesai menonton film tersebut, bisa langsung membahasnya sehingga kita bisa mendapatkan sharing moment after that.


Saat ini, kurang lebih sudah 7 film yang mereka tonton bareng. Diantaranya adalah The Raid, Sanubari Jakarta, Hi5teria, Rec 3, Modus Anomali, The Avangers, dan Lovely Man. Rata-rata mereka membooking 186 seat atau setara dengan kapasitas satu studio. Dengan mengusung tema Movies Unite Us, mereka berharap film Indonesia yang berkualitas terus bertambah dan berbanding lurus dengan jumlah penonton filmnya.
Untuk mengikuti acara nobar bersama mereka, follow akun @moviegoersID dan pantau terus linimasanya.

Meliza Sopandi